oleh : La Ode M. Aslan (*)
One Piece merupakan kisah fiksi yang sangat populer akhir akhir ini. Kisah ini ditulis dalam bentuk komik Jepang (manga). Bagi jutaan penggemar anime dan manga di seluruh dunia, kata One Piece bukan sekadar kisah petualangan bajak laut yang mencari harta karun dan penuh aksi, tawa, dan keajaiban. Karya epik ini telah menjadi cerminan sosial, politik, dan ekonomi nyata—meski dibalut dalam petualangan dan fantasi. Namun, dunia fiksi ini justru terasa lebih jujur dengan realitas kehidupan kita.
Karya epik imajinatif ini telah berjalan lebih dari dua dekade. Selama itu pula, karya ini menggambarkan dunia yang secara perlahan terungkap sebagai cermin dari dunia nyata: penuh ketidakadilan, manipulasi kekuasaan, kebohongan sejarah, dan kesenjangan social serta korupsi yang mencolok dan merajalela.
Ada 6 hal yang menjadi Ironi “negara” One Piece, yaitu:
Pertama, Pemerintah Dunia: Penjaga Kedamaian?
Pemerintah Dunia dalam One Piece digambarkan sebagai pengatur tatanan dunia. Mereka punya tentara resmi sendiri. Tapi semakin cerita berkembang, semakin terlihat bahwa pemerintah ini penuh dengan ketidakjujuran dan mampu menutupi sejarah sebenarnya, menghilangkan kebenaran dari buku-buku, dan menyebut siapa pun yang mengungkap kebenaran sebagai penjahat.
Ironisnya, di dunia nyata pun, kebenaran bahkan sudah sangat lazim dibungkam atas nama ‘keamanan nasional’. Mereka takut pada sejarah yang mereka rekayasa sendiri, dan menggunakan narasi tunggal untuk membentuk opini publik, membenarkan kebijakan represif, dan meredam perlawanan.. Upaya sistimatis untuk menciptakan narasi tunggal melalui penghapusan kisah kelam seperti penjajahan, pembantaian massal, pelanggaran HAM, atau eksploitasi sumberdaya alam secara sistemik sering disamarkan atau bahkan dihapus dari kurikulum resmi. Generasi muda diajarkan narasi versi negara, bukan kebenaran yang utuh. Media dikontrol, arsip dibatasi, dan tokoh-tokoh yang mempertanyakan narasi dominan kerap dianggap “subversif”
Kedua, Bajak Laut = Teroris?
Penyelamat rakyat tertindas disimbolkan melalui tokoh fiksi Luffy dan kru. Mereka menghancurkan sistem tirani, membebaskan budak, hingga melawan korporasi yang merusak lingkungan seperti di pulau Drum.
Namun di mata pemerintah dunia, Luffy dan kru merupakan buronan kelas atas. Para aktivis lingkungan, jurnalis , atau pembela hak asasi manusia di dunia nyata pun sering mendapat stigma yang sama—bahkan dibungkam.
Ketiga, Celestial Dragons: Elite Sosial yang Tidak Tersentuh
Kaum Celestial Dragons yang ada dalam kisah One Piece digambarkan sebagai keturunan pendiri pemerintah dunia. Mereka memiliki privasi khusus.
Di banyak negara, kekuasaan ekonomi telah melampaui pengaruh politik. Para oligarki tidak hanya menguasai pasar, tetapi juga sering mengontrol kebijakan publik, mempengaruhi regulasi, dan opini publik. Jaringan politik dikuasai oleh keluarga yang sudah berkuasa selama beberapa generasi. Hak eksklusif mereka sering tidak tersentuh hukum.
Elit superkaya di dunia nyata mampu mengontrol lahan secara besar-besaran, mampu menikmati proyek-proyek strategis, merekayasa perundang-undangan untuk melindungi kepentingan mereka sendiri
Di negara One Piece, Tenryuubito tidak bisa dihukum. Di dunia nyata, kejahatan kerah putih yang melibatkan korporasi besar sering berakhir damai lewat negosiasi dan denda, bukan penjara, skandal pelanggaran HAM, perusakan lingkungan, sulit sampai ke pengadilan sedangkan aktivis yang mengungkap skandal justru yang ditangkap atau dibungkam.
Keempat, Manipulasi Media dan Propaganda
Pemerintah di negara One Piece mampu mengatur dan menguasai berita yang boleh dipublikasikan. Pemerintah memiliki kendali langsung atas World Economic News Paper, media massa paling berpengaruh di negara One Piece. Karakter seperti Morgans, pemimpin redaksi surat kabar ini, meski tampaknya independen, sering bekerja sama dengan kepentingan Pemerintah Dunia. Sehingga, citra atau opini negatif, mereka mampu putarbalikkan.
Pemerintah membentuk citra sebagai penjaga stabilitas, pelindung rakyat, dan simbol moralitas. Sementara itu, siapa pun yang menggoyahkan narasi itu—termasuk bajak laut yang justru menolong rakyat—akan diladeni secara citra dan fisik.
Banyak pemerintahan di dunia nyata juga mengontrol media nasional, menyensor berita yang tidak sesuai dengan agenda politik, menghapus bagian sejarah yang kelam dari kurikulum resmi, mengkriminalisasi akademisi, jurnalis, sejarawan, atau aktivis yang membongkar kebenaran,
Kelima, Perlawanan dan Harapan dari Akar Rumput
Meski negara dalam One Piece penuh ketidakadilan, harapan tetap menyala. Gerakan Revolusioner yang dipimpin Monkey D. Dragon tidak hanya melawan kekuasaan, tapi juga berusaha membangun dunia baru yang lebih adil. Di sisi lain, tindakan-tindakan kecil dari rakyat biasa yang mendukung Luffy, menunjukkan bahwa perubahan lazim dimulai dari bawah.
Di dunia nyata, perubahan sosial memang jarang lahir dari istana, gedung parlemen, atau korporasi besar. Sejarah membuktikan bahwa perubahan sejati sering kali dimulai dari bawah, dari gerakan akar rumput.
Gerakan ini diinisiasi kelompok-kelompok masyarakat yang punya spirit, moral, dan kepedulian seperti: petani yang melawan perampasan lahan dan korporatisasi pangan, nelayan yang menolak reklamasi dan pencemaran laut oleh industri besar, mahasiswa yang terus memperjuangkan aspirasi, demokrasi, lingkungan, atau pendidikan yang adil, dan para akademisi yang mengedukasi publik melalui riset dan tulisan kritis.
Gerakan akar rumput tentu perlu didukung dengan berani bersikap. Diam adalah sejatinya merupakan bentuk dukungan diam-diam terhadap penindasan. Ketika ketidakadilan terjadi, tetapi mayoritas memilih bungkam—karena takut, atau merasa tak berdaya—maka kekuasaan yang menindas akan tetap merasa aman.
Keenam, Kekuatan Simbolik Bajak Laut
Bajak laut di negara One Piece bukan hanya simbol kebebasan, tapi juga perlawanan terhadap sistem yang korup. Bendera Jolly merupakan simbol penolakan pada tatanan yang korup. Dalam dunia yang dikendalikan oleh Pemerintah Dunia yang manipulatif, dan ketimpangan, mereka lebih memilih untuk melawan diskriminasi, menjelajahi lautan tanpa batas, dan memilih jalan penuh risiko. Contoh: tokoh Fisher Tiger melawan diskriminasi terhadap ras manusia ikan, atau tokoh Nico Robin diburu karena ingin mengungkap sejarah yang disembunyikan, Singkatnya, mereka mengguncang status quo yang buruk.
Negara Fiksi yang Menampar Realita
One Piece bukan hanya cerita bajak laut—ia adalah kritik sosial, filosofi hidup, dan pengingat bahwa negara harus bisa berubah ke arah yang lebih baik.
Ambisi Luffy tidak hanya pada target “Aku akan menjadi Raja Bajak Laut!” — tetapi bisa jadi merupakan metafora mulia tentang kebebasan tertinggi via hidup dengan nilai kejujuran dan apa adanya serta terus melawan ketidakadilan.
Penutup: Dunia Khayalan yang Terlalu Dekat dengan Kenyataan
Kekuatan sejati dari negara One Piece hanyalah fiksi suatu negara yang dimuat di manga. Namun, ironi yang terjadi di negara ini mengajarkan pentingnya spirit keadilan dan kebenaran yang tidak bisa dibungkam dan bahwa harapan kebaikan tetap perlu hidup di tengah kekacauan. Negeri fiksi ini ironisnya justru lebih menggugah nurani ketimbang banyak negara sungguhan. (*)
(*) Guru Besar Universitas Halu Oleo (UHO) dan Pemerhati masalah sosial
Komentar