(*) La Ode M. Aslan
Guru Besar Universitas Halu Oleo, Kendari
Dalam pandangan masyarakat, jabatan rektor di perguruan tinggi negeri (PTN) sering dianggap sebagai puncak karier akademik yang penuh kehormatan. Rektor semestinya menjadi sosok teladan intelektual, penjaga moral kampus, dan penggerak perubahan keilmuan. Namun di balik idealisme itu, kini muncul kenyataan getir yang banyak dibicarakan di kalangan dosen dan akademisi: menjadi rektor di PTN ternyata “mahal.” Bukan hanya karena tuntutan kapasitas dan reputasi ilmiah, tetapi juga karena prosesnya seringkali ditentukan oleh kemampuan melobi dan “menyiapkan” uang.
Politik di Balik Pemilihan Rektor
Proses pemilihan rektor di PTN yang otonom seharusnya menjadi ajang demokrasi akademik. Namun, dalam praktiknya, mekanisme ini tidak sepenuhnya steril dari kepentingan politik dan ekonomi. Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi memang memberi ruang bagi Majelis Wali Amanat (MWA) atau senat universitas untuk memilih rektor. Akan tetapi, di perguruan tinggi negeri berbadan hukum (PTNBH) maupun non-PTNBH, tetap ada peran besar dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi — terutama karena 35 persen suara menteri menjadi penentu dalam pemilihan.
Kondisi ini membuka ruang transaksi politik dan ekonomi yang kerap tidak sehat. Beberapa calon rektor merasa perlu “mendekat” ke pihak kementerian atau aktor-aktor politik lain yang punya pengaruh terhadap suara menteri. Bahkan di internal kampus sendiri, dukungan senat bisa dipengaruhi oleh kedekatan personal, kepentingan jabatan, atau, dalam kasus ekstrem, oleh kekuatan finansial. Fenomena “politik uang” yang biasanya identik dengan pemilu, kini perlahan menyusup ke ruang akademik.
Biaya Sosial dan Moral dari Ambisi Jabatan
Menjadi rektor di banyak kampus kini membutuhkan kemampuan melobi setara dengan politisi. Beberapa kandidat merasa harus menyiapkan dana besar untuk perjalanan, jamuan, kegiatan sosialisasi, atau bahkan dukungan “diam-diam” yang sulit dibuktikan. Meskipun tidak semua terlibat praktik tidak etis, atmosfer kompetisi yang berbiaya tinggi menciptakan persepsi bahwa jabatan rektor bukan lagi diperjuangkan dengan integritas, melainkan dengan strategi politik dan modal uang.
Dampaknya serius. Ketika seseorang mengeluarkan biaya besar untuk menjadi rektor, maka muncul kecenderungan untuk “mengembalikan” modal itu saat menjabat — baik melalui proyek, pengadaan, atau penempatan orang-orang tertentu pada posisi strategis. Kampus pun berubah menjadi arena transaksional yang jauh dari nilai-nilai akademik. Idealisme tentang tri dharma perguruan tinggi — pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat — mulai terkalahkan oleh kepentingan pragmatis.
Lebih menyedihkan lagi, dosen-dosen muda yang idealis mulai kehilangan kepercayaan terhadap sistem. Mereka melihat jabatan akademik tinggi tidak selalu diraih dengan prestasi, melainkan dengan koneksi dan kekuatan lobi. Hal ini menimbulkan demoralisasi dan memperlebar jurang antara nilai akademik dan realitas politik di kampus.
Antara Otonomi dan Intervensi
Ironisnya, otonomi perguruan tinggi yang dimaksudkan untuk memperkuat kemandirian akademik justru sering disalahartikan sebagai otonomi dalam berpolitik dan bertransaksi. Padahal, semangat otonomi kampus seharusnya berarti kebebasan berpikir, kebebasan meneliti, dan kebebasan mengelola diri secara profesional tanpa intervensi eksternal. Ketika proses pemilihan rektor masih dikendalikan oleh suara kementerian dan pengaruh politik, maka otonomi itu kehilangan maknanya.
Di sisi lain, pemerintah beralasan bahwa keterlibatan menteri diperlukan untuk menjaga akuntabilitas dan mencegah kampus dikuasai oleh kelompok internal tertentu. Alasan ini sah-sah saja, tetapi harus diimbangi dengan transparansi proses pemilihan dan mekanisme pengawasan publik yang kuat. Tanpa itu, peran menteri justru bisa menjadi pintu masuk politik kepentingan yang merusak integritas institusi pendidikan.
Mencari Rektor yang Visioner, Bukan yang “Bermodal”
Sudah saatnya bangsa ini menata ulang cara memilih pemimpin perguruan tinggi. Rektor bukan sekadar pejabat administratif, melainkan pemimpin intelektual yang menentukan arah masa depan pendidikan tinggi. Ia harus memiliki rekam jejak akademik yang kuat, etika yang teruji, serta kemampuan manajerial yang berlandaskan integritas, bukan sekadar jaringan politik.
Transparansi proses seleksi menjadi kunci. Setiap tahap — mulai dari pendaftaran, penilaian kualifikasi, pemaparan visi-misi, hingga pengambilan suara — harus terbuka bagi publik. Media dan masyarakat akademik harus diberi akses untuk memantau dan mengkritisi proses tersebut. Dengan begitu, tekanan moral dari publik dapat menekan praktik-praktik transaksional yang merusak.
Selain itu, peran lembaga independen seperti Komisi Etik Akademik perlu diperkuat. Lembaga ini harus memiliki kewenangan untuk menindak setiap bentuk penyalahgunaan kekuasaan, konflik kepentingan, dan politik uang dalam proses pemilihan. Tanpa pengawasan yang kuat, integritas kampus hanya akan menjadi jargon kosong.
Menghapus suara Menteri 35 persen
Dalam sistem saat ini, senat memiliki 65 persen suara, sedangkan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi memegang 35 persen suara. Sekilas tampak adil, namun praktiknya, angka 35 persen itu adalah “kunci emas” yang bisa menentukan siapa pemenangnya.
Kewenangan besar tersebut membuka ruang bagi politik lobi dan kedekatan personal antara calon rektor dengan pejabat terkait termasuk dengan kekuata politik tertentu. Kandidat yang dianggap “tidak sejalan” dengan kepentingan birokrasi atau politik tertentu sering kali terpinggirkan, meskipun memiliki rekam jejak akademik dan moral yang kuat. Dalam beberapa kasus, bahkan muncul persepsi adanya “restu” atau “dukungan istimewa” yang diberikan secara tertutup kepada calon tertentu.
Akibatnya, sebagian calon merasa perlu mengeluarkan biaya besar untuk “mengamankan” dukungan — entah dalam bentuk perjalanan, sosialisasi, jamuan, atau bahkan dukungan finansial tak resmi. Atmosfer akademik pun terkontaminasi oleh praktik yang seharusnya hanya terjadi di dunia politik elektoral, bukan di kampus.
Kewenangan menteri sebesar 35 persen sebenarnya merupakan warisan kebijakan lama yang dimaksudkan untuk menjaga stabilitas dan akuntabilitas. Namun, dalam praktiknya, mekanisme itu justru membuka ruang intervensi berlebihan terhadap otonomi perguruan tinggi. Padahal, otonomi kampus berarti kebebasan untuk menentukan masa depan sendiri secara akademik, administratif, dan moral — bukan ketergantungan pada kekuasaan politik.
Dengan menghapus kewenangan menteri 35 persen, kita menegaskan prinsip bahwa kampus bukan perpanjangan tangan birokrasi, tetapi rumah bagi ilmu pengetahuan dan kebebasan berpikir. Negara tetap bisa mengontrol lewat mekanisme audit, penilaian kinerja, dan pelaporan publik — bukan lewat intervensi dalam pemilihan pemimpinnya.
Menjaga Marwah Akademik
Perguruan tinggi adalah benteng terakhir rasionalitas dan moralitas bangsa. Anak-anak muda yang kini duduk di bangku kuliah akan belajar bahwa untuk menjadi pemimpin bukan perlu berprestasi, melainkan berani “bermain.” Itulah bahaya terbesar.
Menjadi rektor seharusnya bukan soal berapa banyak uang yang dikeluarkan, tetapi berapa banyak ide yang bisa disumbangkan. Bukan soal siapa yang paling pandai melobi, tetapi siapa yang paling pantas memimpin perubahan. Jika kampus terus dibiarkan menjadi arena transaksi, maka gelar akademik tertinggi sekalipun tak akan mampu menutupi kemiskinan moral yang melanda dunia pendidikan kita.
Penutup
Kita membutuhkan keberanian kolektif untuk mengembalikan marwah perguruan tinggi negeri sebagai pusat keilmuan dan etika. Proses pemilihan rektor harus dikawal bersama — oleh civitas akademika, media, dan masyarakat sipil — agar tidak jatuh ke tangan mereka yang hanya punya ambisi, bukan visi. Sebab pada akhirnya, harga yang terlalu “mahal” untuk menjadi rektor bukan hanya merugikan calon-calon yang idealis, tetapi juga mencederai masa depan pendidikan Indonesia. (*)
Komentar