Belakangan ini, RUU TNI yang telah resmi di sahkan pada tanggal 20 Maret 2025 ramai menjadi perdebatan di kalangan masyarakat Indonesia. Menurut Pemerintah, Urgensi Pemerintah Indonesia mengenai RUU TNI ini bertujuan untuk menyesuaikan peran dan fungsi TNI dalam menghadapi tantangan keamanan modern, termasuk ancaman siber dan dinamika geopolitik Internasional. Beberapa Poin penting dalam perubahan UU TNI, khususnya pada Pasal 47 yang menyebutkan bahwa TNI bisa menjabat di 16 (yang darinya hanya 10 ) Lembaga/Kementrian tanpa harus pensiun, menjadi sorotan masyarakat dan memunculkan polemik yang membelah opini masyarakat. Sebagian kalangan menilai bahwa revisi ini berpotensi menghidupkan kembali praktik militeristik seperti era ABRI dan dapat membatasi ruang demokrasi rakyat terhadap pemerintah. Dalam konteks sosiologi hukum, perubahan UU ini tidak hanya dapat dilihat dari aspek normatif semata, tetapi juga harus dikaji sebagai hasil interaksi antara hukum, kekuasaan, dan struktur sosial masyarakat. Perubahan pada Pasal 47 membuka ruang untuk memahami bagaimana hukum bisa menjadi alat kekuasaan atau bahkan menimbulkan ketimpangan sosial-politik. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian mendalam terhadap penerapan dan dampak perubahan UU TNI ini, terutama Pasal 47, dari perspektif sosiologi hukum.
Berdasarkan UU TNI sebelumnya, Pasal 47 menyebutkan bahwa TNI boleh menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif, namun dalam revisi terbaru yang telah di sahkan, Pasal 47 memberikan wewenang terhadap prajurit TNI untuk menduduki jabatan sipil tanpa harus mengundurkan diri atau pensiun. Dari segi fungsional kelembagaan, sejumlah Lembaga atau Kementrian yang boleh di duduki oleh TNI tersebut memiliki alasan yang cukup strategis serta logis. Lembaga-Lembaga yang di sebutkan pada Pasal 47 ini memang memiliki kaitan langsung dengan tugas dan Peran TNI terutama dalam bidang pertahanan, keamanan, intelijen, penanggulangan bencana, dan ketahanan nasional. Keterlibatan TNI ini dapat kita nilai relevan karena Tugas pokok TNI mencakup operasi militer perang dan selain perang (terorisme, bencana, keamanan siber). Serta Beberapa lembaga, seperti Kemenhan, BNPT, BIN, dan BSSN, membutuhkan dukungan militer dalam pelaksanaan tugasnya. Imparsial mencatat bahwa sejak 2023, terdapat 2.569 perwira aktif yang menduduki jabatan sipil di Indonesia, Revisi terhadap Pasal 47 UU TNI salah satunya bertujuan untuk mengatur kembali penempatan prajurit aktif di jabatan sipil. Dalam hal ini, prajurit yang menduduki jabatan sipil di luar ketentuan yang ditetapkan diwajibkan untuk mengundurkan diri dari dinas militer aktif. Meskipun memiliki dasar fungsional yang dapat dipahami, penempatan prajurit aktif dalam jabatan sipil tetap menimbulkan kontroversi. Berbagai pihak menyuarakan kekhawatiran bahwa kebijakan ini dapat mengaburkan batas antara militer dan sipil, membuka celah penyalahgunaan kekuasaan, dan bahkan menghidupkan kembali praktik dwifungsi ABRI seperti masa Orde Baru. Penolakan terhadap Pasal ini bahkan telah memicu unjuk rasa di berbagai daerah, salah satunya adalah demonstrasi yang di lakukan oleh Mahasiswa Universita Trisakti Pada 19 Maret 2025 di Gerbang Pancasila DPR. Dalam aksi tersebut, Mahasiswa Trisakti menyuarakan penolakan keras terhadap Revisi Undang Undang TNI karena berpotensi menghidupkan kembali Dwifungsi militer yang mengancam supremasi sipil dan demokrasi.
Di tengah perdebatan publik mengenai revisi UU TNI tersebut, Mantan Menkopolhukam, Mahfud MD turut menyuarakan pandangannya. Beliau mengatakan ia memaklumi kekhawatiran masyarakat terhadap Revisi tersebut, sebab pembuatan nya yang tidak terbuka, bahkan cenderung sembunyi-sembunyi lalu tiba-tiba di muncul ke publik yang secara prosedural memang tidak sejalan dengan peraturan perundang-undangan. Tetapi beliau berpendapat bahwa secara substansial, institusi yang disebutkan dalam revisi UU TNI terbaru ini tidak mengarah ke dwifungsi, sebab sudah sejak lama mengangkat TNI aktif sebagai pejabatnya.
Jika di lihat dari Perspektif Sosiologi Hukum, pasal ini perlu dianalisis tidak hanya sebagai “apa bunyi hukumnya”, tetapi juga sebagai “apa dampaknya dalam kehidupan nyata masyarakat”.
Pertama, dari aspek norma sosial dan ketimpangan kekuasaan, revisi Pasal 47 ini menunjukkan adanya pergeseran norma yang awalnya memisahkan ranah antara militer dan sipil. Dengan membolehkan prajurit aktif menjabat di lembaga sipil, muncul potensi ketimpangan kekuasaan antara sipil dan militer, yang secara historis pernah menjadi masalah serius pada masa Orde Baru serta memperbesar dominasi militer dalam kehidupan sipil.
Kedua, melihat dari Teori yang di kemukakan oleh Chambliss dan Seidman yang menggambarkan hukum sebagai senjata konflik sosial untuk menindas untuk digunakan bagi yang berkuasa untuk kepentingan dan keuntungan mereka. Teori ini adalah Perspektif yang menganggap hukum sebagai alat kontrol sosial yang di gunakan oleh kelompok yang berkuasa untuk mempertahankan kekuasaan mereka dengan menekan kelompok sosial yang lebih lemah, yang kemudian dapat kita lihat melalui perubahan Pasal 47 ini bisa saja mencerminkan upaya kelompok dominan (dalam hal ini militer) untuk memperluas kontrolnya. Alih-alih merepresentasikan kepentingan umum, hukum justru bisa menjadi alat legitimasi kekuasaan jika tidak disertai mekanisme pengawasan dan keterbukaan terhadap kritik publik.
Ketiga, terdapat risiko konflik peran dan tumpang tindih kewenangan. Seorang prajurit aktif yang merangkap jabatan sipil bisa mengalami dilema loyalitas: antara ketaatan pada hirarki militer dan tanggung jawab terhadap lembaga sipil yang semestinya tunduk pada prinsip demokrasi, akuntabilitas, dan keterbukaan. Hal ini dapat melemahkan efisiensi tata kelola kelembagaan dan mengganggu netralitas birokrasi.
Keempat, dari segi legitimasi hukum, respons masyarakat terhadap Pasal 47 menunjukkan adanya ketegangan dalam legitimasi. Secara hukum, Pasal ini memang sah karena di sahkan oleh yang berwenang yaitu DPR. Tetapi secara prosedur pengesahannya, masyarakat menilai ini tidak relevan sebab di lakukan secara tertutup tanpa keterbukaan untuk publik. Secara sosial, Pasal ini belum sepenuhnya di terima dengan baik oleh publik dan menimbulkan penolakan oleh sejumlah Kelompok Masyarakat Sipil dan Akademisi.
Salah satu prinsip utama demokrasi konstitusional adalah supremasi sipil atas militer, serta netralitas TNI dalam urusan pemerintahan sipil. Dengan mengizinkan prajurit aktif menduduki jabatan sipil tanpa pensiun, prinsip ini berpotensi terlanggar, menimbulkan dilema antara efektivitas struktural dan prinsip demokratis.
Dengan demikian, revisi Pasal 47 UU TNI memang memiliki justifikasi strategis, namun tetap perlu dikritisi secara objektif agar tidak mengancam supremasi sipil dan tatanan demokrasi yang telah dibangun. Pemerintah harus menjamin bahwa pelibatan TNI tetap dalam koridor konstitusional, transparan, dan diawasi publik secara aktif. (*)
Penulis adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Haluoleo, Kendari.
Komentar