Kendari, SATUSULTRA – Direktur LBH Kasasi Sultra, Ahmad Fajar Adi menilai Jaksa Penuntut Umum (JPU) menerapkan pasal yang salah dalam perkara suap izin gerai Alfamidi. Pasal yang disangkakan kepada dua terdakwa yakni Syarif Maulana dan Ridwansyah Taridala diyakini takkan mampu menjerat mantan walikota Kendari Sulkarnain Kadir, meski namanya disebut-sebut dalam dakwaan JPU.
Saat persidangan Jumat (28/7/2023) di pengadilan Tindak Pidana Korupsi Kendari, JPU Kejati Sulawesi Tenggara (Sultra) menuntut Syarif dan Ridwansyah menggunakan pasal 12 UU tindak pidana korupsi (Tipikor). Ahmad Fajar Adi membeberkan, pasal tersebut menjerat penerima gratifikasi. Sedangkan ia menilai, secara kasat mata, Sulkarnain tidak menerima gratifikasi.
“Ketika pasal 12 UU Tipikor yang diterapkan pada Syarif dan Ridwansyah, maka sudah pasti pak Sulkarnain lepas dari jeratan hukum, tidak dapat dijadikan tersangka,” jelasnya, Sabtu, (29/7/2023).
Untuk menjerat Sulkarnain dalam perkara suap izin Alfamart, Ahmad menjelaskan JPU harus menerapkan pasal 3 UU Tipikor. Sebab, pasal 3 mengatur pada niat dan tujuan seseorang untuk menguntungkan diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan menyalahgunakan wewenang, kesempatan dan sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya.
“Sebenarnya sudah memenuhi dua alat bukti, dan jika ingin menjeratnya (Sulkarnain) harusnya JPU Kejati menerapkan pasal 3 UU tipikor,” ungkapnya.
Ahmad menjabarkan, saat membacakan surat dakwaan di persidangan, JPU menjelaskan untuk memperoleh izin, PT Midi Utama Indonesia (MUI) diwajibkan untuk memberikan bantuan pembiayaan program kampung warna-warni di kelurahan Petoaha, kecamatan Bungkutoko, Kendari. Kemudian pembangunan Anoa Mart sebanyak enam lokasi dengan perjanjian pembagian saham 95 persen buat PT MUI dan 5 persen untuk CV Garuda yang berafiliasi dengan Sulkarnain.
“Dakwaan itu jelas telah terpenuhi dua unsur alat bukti. Pertama, menyalahgunakan kewenangan terkait diterbitkan izin pembukaan Anoa Mart, Kedua, pak Sulkarnain meminta saham 5 persen secara otomatis akibat tindakan itu yang bersangkutan memperkaya diri sendiri. Ini yang paling memenuhi pasal 3 UU Tipikor,” bebernya.
Ia merinci, tidak ada aturan yang menyebutkan pengusaha harus memberikan biaya untuk melaksanakan program pembangunan pemerintah dan memberikan saham terhadap Walikota ataupun pejabat lainnya untuk mendirikan bangunan.
“Sebenarnya kasus dugaan suap tersebut sudah memenuhi unsur untuk menetapkan tersangka terhadap Sulkarnain Kadir. Yang menjadi pertanyaan kenapa JPU memaksakan pasal 12 UU tipikor. Kalau sungguh-sungguh mau menuntut, harusnya terapkan pasal 3,” tegasnya.
Untuk itu, ia meminta JPU yang menangani kasus dugaan suap pemberian izin untuk pembangunan Anoa Mart meninjau kembali pasal yang diterapkan, agar juga dapat menjerat Sulkarnain.
“Harus ditinjau ulang, karena dalam perkara itu sebenarnya penetapan tersangka terhadap Sulkarnain Kadir jika menggunakan pasal 3 UU tipikor sudah terpenuhi dua unsur alat bukti,” tandasnya.
Pasal 12 UU Tipikor menyebutkan bahwa penerima gratifikasi dapat dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200 juta atau satu miliar.
Sedangkan, pasal 3 UU tipikor yang menyebutkan bahwa setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau karena kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dapat dipidana. (b)
reporter : Arsya
editor : Linri Merinda
Komentar